This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 12 Oktober 2012

Mimpi Pemberantasan Korupsi

[Al Islam 626] Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Susilo bambang Yudhoyono akhirnya tegas memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 9/10). Itu adalah salah satu kesimpulan dari pidato Presiden SBY pada senin malam (8/10).
Dengan itu, diharapkan kasus-kasus kelas kakap seperti kasus Hambalang, wisma Atlet, Century dan lainnya, segera tuntas dan negeri ini bisa bebas dari korupsi.

Mimpi !
Masyarakat harus bersiap, harapan itu sulit terwujud (jika tidak boleh dikatakan mustahil), setidaknya dalam waktu dekat ini. Hal itu karena beberapa faktor, diantaranya:

Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari negara dan kehidupan, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang built in menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semuanya tidak jauh beda bahkan sama saja. Di sisi lain, hukum juga tumpul, aturan hukum yang ada mudah direkayasa, dicari celahnya dan sanksi bagi yang terbukti bersalah pun sangat ringan.
Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Untuk balik modal, terjadilah, cara-cara “legal tapi curang” atau “curang tapi legal”, seperti proses tender yang sudah diatur, dsb, yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat adalah korupsi. Maka wajar saja sangat jarang ada politisi dan pejabat, khususnya kepala daerah, yang benar-benar bersih. Juga tidak aneh ICW mencatat (Republika.co.id, 4/10) ada 44 kader parpol terjerat kasus korupsi dari Januari – Juni 2012. Sebanyak 21 orang berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan di pusat maupun di daerah, 21 orang dari kepala daerah atau mantan dan dua orang pengurus partai.
Ketiga,      korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Laporan BPK membuktikan. BPK menyatakan (mediaindonesia.com, 2/10) telah terjadi penyimpangan pada instansi pemerintah pusat dan daerah di semester I tahun 2012, sebanyak 13.105 kasus. Potensi kerugian negara mencapai Rp12,48 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 3.976 kasus senilai Rp8,92 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan negara. Sisanya sebanyak 9.129 kasus senilai Rp3,55 triliun merupakan kasus penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, serta sistem pengendali intern (SPI).
Keempat, dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. Dalam sistem politik demokrasi yang mahal, kecil kemungkinan ada politisi, pejabat, dan aparat yang benar-benar bersih. Bagaimana mungkin pembuatan sistem hukum pemberantasan korupsi digantungkan kepada mereka yang seperti itu?
Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Ketegangan KPK Vs Polri jilid II adalah bukti paling akhir. Hal itu dipengaruhi dua faktor: pertama, antar lembaga tinggi posisinya sejajar dan tidak di bawah satu kepemimpinan. KPK adalah lembaga independen. Jikalau KPK lemot, tidak bisa serta merta diakselerasi oleh presiden ataupun DPR. Sebaliknya, jika KPK dapat “hambatan” dari instansi atau aparat lain, KPK tidak mudah meminggirkan halangan itu sebab berbeda jalur. Faktor kedua, absennya peran kepemimpinan. Ketakpaduan polri dengan KPK mestinya tak terjadi, andai sejak awal presiden memerintahkan Polri harus berjalan padu dengan KPK, atau ketika Polri tidak patuh segera ditegur dan diluruskan. Ini yang tidak terjadi atau terlambat. Peran pemimpin mestinya tidak seperti wasit tinju, setelah baku pukul dan berdarah-darah baru menghentikan dan memutuskan. Peran pemimpin seharusnya memimpin, mengarahkan dan memadukan gerak sehingga semua berjalan secara harmonis.
Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera.
Karena semua itu, wajar harapan bebas dari korupsi dengan sistem sekarang ini akan terus menjadi mimpi. Aksi pemberantasan korupsi yang sedang berjalan hanya akan menjadi pelipur lara, dari pada sama sekali tidak ada.

Bebas dari Korupsi dengan Syariah Islam
Harapan bebas dari korupsi hanya bisa jika pemberantasan korupsi dilakukan menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi. Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah syariah Islam. Hal itu mengingat:
pertama, dasar akidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat. Negara diwajibkan terus membina ketakwaan itu. Lahirlah kontrol dan pengawasan internal yang bulit-in menyatu dalam diri pemimpin, politisi, pejabat, aparat dan pegawai, yang bisa mencegah mereka untuk korupsi.
Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Juga tidak muncul ketamakan melakukan korupsi untuk balik modal.
Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa. Anggota Majelis umat tidak memiliki kekuasaan politik dan anggaran sehingga mafia anggaran tidak akan terjadi. Hukum dalam syariah Islam bersumber dari wahyu dan tidak dibuat oleh wakil rakyat dan penguasa. Sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem demokrasi.
Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah, sehingga ketakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. Faktor absennya peran kepemimpinan bisa dihindari, berbeda dengan fakta yang ada sekarang.
Kelima, praktek korupsi andai terjadi bisa diberantas degan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tak terjadi. Dalam syariah, kriteria harta ghulul itu jelas. Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan dan sebagainya sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat, dsb, yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal; semua itu termasuk harta ghulul. Di akhirat akan mendatangkan azab. Allah berfirman (yang artinya): Barangsiapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (TQS. Ali Imran [3]: 161).
Nabi saw bersabda:
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولاً يَأْتِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Siapa dari kalian kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih maka itu adalah ghulul yang ia bawa pada hari kiamat (HR Muslim dan Abu Dawud)
«مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ»
Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah ghulul (HR Abu Dawud dan Ibn Khuzaimah

Untuk membuktikannya diantaranya bisa seperti yang dicontohkan oleh Umar bi Khathab ra dan disetujui para sahabat sehingga menjadi ijmak sahabat. Harta pejabat dan pegawai dicatat. Jika ada kelebihan yang tak wajar, yang bersangkutan wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal. Jumlah yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita seluruhnya atau sebagian dan dimasukkan ke kas baitul mal.
Sanksi bagi pelaku memberikan efek cegah dan jera. Sebagai bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, bisa disita seperti yang dilakukan Umar, atau tasyhîr (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat. Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528). Zaid bin Tsabit menetapkan sanksinya an-nikâl yakni dikekang (penjara) atau hukuman yang bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Sedangkan Qatadah mengatakan hukumannya adalah dipenjara (Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).

Wahai Kaum Muslimin
Pemberantasan korupsi dalam sistem sekarang akan terus menjadi mimpi. Mimpi itu bisa diwujudkan dengan penerapan syariah secara total dan menyeluruh. Maka Allah bertanya: ”Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50).
Saatnya kita jawab dengan tindakan nyata terlibat aktif dalam perjuangan untuk menerapkan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah ’ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:

Pemerintah harus menolak pembentukan daerah otonom baru ketika belum memenuhi syarat. Desakan DPR untuk memekarkan 19 daerah baru bisa dilihat sebagai ladang perburuan kekuasaan saja (Kompas, 9/10).
  1. Dalam sistem demokrasi yang mahal, kekuasaan penting untuk mendatangkan uang dan selanjutnya uang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan. Terjadilah siklus power making money, money making power.
  2. Politik Islam basisnya adalah pemeliharaan urusan umat. Kekuasaan hanya jadi alat memelihara urusan umat. Hanya dengan Islam, kekuasaan dijalankan demi menjamin pemeliharan urusan dan kemaslahatan umat. Saatnya campakkan demokrasi kapitalisme, dan terapkan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah.

( Source : http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/10/mimpi-pemberantasan-korupsi/ )

Rabu, 10 Oktober 2012

Pertemuan HT dengan Revolusioner Suriah : Revolusi akan Kembalikan Suriah jadi Khilafah

Mediaumat.com. Suriah. Kepala Kantor Media Hizbut Tahrir Suriah Hisyam Al Baba menyatakan revolusi Suriah akan mengembalikan Suriah menjadi Khilafah Islam, saat kunjungannya ke kantung-kantung kaum Revolusioner, baru-baru ini, di berbagai tempat di Suriah.
“Revolusi ini akan mengembalikan negeri Al Syam sebagai sebuah negara, dan sebagai bagian dari Daulah Khilafah mendatang, Insya Allah, yang akan menjadi negara terkemuka di dunia dalam satu dekade,” tegasnya ketika pidato di hadapan para Revolusioner yang memadati Masjid Ansharu Rasul di I’zaaz.
Di samping meminta agar tetap teguh dan tabah dalam berjuang menumbangkan rezim diktator Al Assad, Hisyam pun meminta kaum Revolusioner mengambil pelajaran berharga dari kegagalan revolusi di Tunisia, Mesir dan Libya.
“Kami mendorong Anda dan mengundang Anda untuk mengambil pelajaran dari revolusi-revolusi sebelumnya, sehingga Anda tidak jatuh ke dalam perangkap sebuah negara sekuler sipil seperti yang telah mereka lakukan!” pekiknya.
Maka, Hisyam pun mewanti-wanti agar kaum Revolusioner waspada terhadap tipu daya Barat dan para kaki tangannya di dalam negeri serta harus tetap menyatukan visi misi perjuangan hingga tumbangnya Al Assad sehingga kondusifnya diangkat seorang lelaki mulia menjadi khalifah.
“Kita akan bertemu di Masjid Umayyah dekat Damaskus, Insya Allah, untuk memberikan baiat (janji setia terhadap seseorang yang diangkat menjadi khalifah, red) kepada seorang imam yang akan memerintah kita dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW, dan memang hal itu bukanlah sebuah hal yang sulit bagi Allah!” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Hisyam pun tak lupa menunjukan dan menjelaskan peta jalan yang dikeluarkan HT Suriah yang bertanggal 28 Ramadhan 1433 H untuk membawa perubahan di Suriah yang mengarah kepada Daulah Khilafah, yang berjudul: Manifesto Hizbut Tahrir tentang Revolusi Al Syam: Menjelang Kelahiran Khilafah Rasyidah yang Kedua.
Mendapat Sambutan
Selain ke I’zaaz, Hisyam pun berkeliling ke kantong-kantong kaum Revolusioner termasuk ke Soran di pedesaan Aleppo. Di berbagai tempat, ceramahnya mendapat sambutan yang sangat baik dan positif, dan terdapat interaksi yang baik dari para hadirin.
Ceramah itu diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan dari kaum muda yang rindu akan kekuasaan Islam. Ceramah kemudian dilanjutkan dengan dibagi-bagikannya draft Konstitusi Daulah Khilafah kepada para hadirin, Manifesto HT dan pernyataan tentang konspirasi Lakhdar Brahimi.
Terlihat sukacita yang sangat besar dari wajah Hisyam maupun kaum Revolusioner selama kunjungan dan pertemuan-pertemuan tersebut. Banyak orang yang melihat hal itu sebagai tanda-tanda yang baik atas kemenangan yang muncul di negeri Al Syam.
“Anda, para pahlawan telah mengajarkan kepada seluruh umat semua abjad revolusi dan menantang taghut. Jika kita meninggalkan Anda dan kembali ke Damaskus itu akan merupakan harapan menunggu waktu menjadi nol, saat deklarasi Khilafah, saat Anda akan mendengar pekikan Allahu Akbar,” puji Hisyam di setiap akhir kunjungannya.
Dengan demikian, rakyat Al-Syam yang bebas kemudian akan melangkah dengan kaki mereka di era para penguasa yang menindas (hukm jabri), dan menyatakan dimulainya Era Khilafah Rasyidah yang mengikuti petunjuk Kenabian[]rz/joy


Source : ( http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/09/pertemuan-ht-dengan-revolusioner-suriah-revolusi-akan-kembalikan-suriah-jadi-khilafah/ )

Minggu, 07 Oktober 2012

Jawaban Tuntas Pertanyaan Berulang Seputar Khilafah dan Hizbut Tahrir

1. Benarkah tidak ada dalil tentang kewajiban Khilafah ?
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi Al Islam, hlm. 34)
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah [Khilafah]…” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” (Ibnu Hazm, Al-Fashlu fi Al Milal wal Ahwa` wan Nihal, Juz 4 hlm.78)
Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 48)
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49.)
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11).
Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut :
نصب الإمام واجب ، وقد عرف وجوبه في الشرع بإجماع الصحابة والتابعين
“Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…” (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191).
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.” (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7).
Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi :
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah: 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. (Abdullah Umar Sulaiman Ad Dumaiji,  Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, (Kairo : t.p), 1987, hlm. 49).
2.     Apakah khabar dari Rasulullah tentang akan adanya khilafah ala minhajin nubuwah (hadits Hudzaifah bin al Yaman) juga jadi dalil?
Dalil wajib tegaknya khilafah sudah diuraikan di atas. Adapun hadits Hudzaifah bin al Yaman adalah busyra atau kabar gembira Rasululullah tentang bakal kembalinya khilafah di masa mendatang.  Meski tidak mengandung tuntutan atau thalab, tapi hadits tadi penting untuk diperhatikan. Logikanya, tidak mungkin sesuatu itu, yakni Khilafah, dikabarkan oleh Rasulullah bakal kembali tegak bila sesuatu itu bukan perkara penting dan wajib dalam agama ini.
3.     Secara ilmiah dan empiris, sebenarnya kemungkinan tegaknya khilafah di muka bumi?
Pasti akan tegak. Mengapa? Pertama, khilafah itu sebuah kewajiban, bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. Dan semua janji Allah pasti akan terwujud asal kita memenuhi semua syarat-syarat bagi terwujudnya janji-janji itu. Sebagaimana jatuhnya  Romawi Timur kepada Islam. Meski itu sangat sulit, tapi karena keyakinan dari para sahabat, para pejuang Islam pada waktu itu bahwa jatuhnya Romawi Timur ini adalah sebuah kemestian, sebuah kewajiban dan sekaligus dijanjikan, maka misi sesulit itu tetap saja dilakukan. Ekspedisi untuk menaklukkan Konstantinopel sudah di mulai semenjak Khalifah Usman bin Affan. Dan Anda tahu, sejarah membuktikan Konstantinopel jatuh baru pada tahun 1453. Jadi hampir 700 tahun kemudian. Ketika panglima Muhammad al-Fatih masuk ke benteng Konstantinopel, dia  teringat kepada hadist yang berbunyi Fala ni’ma al-amir, amiruha. Fala ni’ma al-jaiz fadzalika al-jaiz (sebaik-baik panglima perang adalah panglima perang yang menaklukkan Konstantinopel, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkan Konstantinopel). Hadis itu dibaca oleh Muhammad al-Fatih, seolah-olah Nabi memuji dirinya. Padahal hadis itu diucapkan pada 700 tahunan sebelum peristiwa besar itu terjadi.
Bila untuk menaklukkan Konstantinopel yang merupakan jantung dari adikuasa Romawi Timur saja akhirnya bisa dilakukan, meski harus melalui upaya yang luarbiasa dan memakkan ratusan tahun, apalagi untuk sebuah khilafah yang itu sudah pernah ada, dan tinggal membangkitkan memori umat, tentu insha Allah akan lebih mudah. Dalam pengalaman gerak Hizbut Tahrir, pengalaman gerak saya di negeri ini sekian tahun lamanya, saya mendapatkan respon yang luar biasa dari umat. Ketika umat ini makin lama makin mendukung, apalagi ditambah dengan kondisi eksternal seperti bagaimana Amerika Serikat dengan kejam menggempur Irak,  juga Afganistan tanpa bisa kita cegah sama sekali, dan konflik Israel dan Palestina yang sudah lebih 50 tahun tidak juga kunjung selesai, para pemimpin umat pun berfikir lalu solusinya apa? Apa yang bisa kita lakukan untuk membela diri? PBB sudah terbukti lebih berpihak kepada negara-negara besar. Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga tidak punya gigi karena masing-masing anggota lebih mementingkan negaranya sendiri-sendiri. Negara-negara Arab sama saja, ASEAN apalagi. Pada puncaknya mereka, para pemimpin umat itu, akan melihat bahwa gagasan khilafah ini yang paling pas. Meski cita-cita itu sangat sulit. Dan kesulitan itu juga yang kami rasakan. Tapi semua masih sangat mungkin berubah, baik karena faktor internal maupun tekanan eksternal. Ada banyak tokoh-tokoh Islam yang pada 20 tahun yang lalu ketika kami pertama kali muncul untuk menyampaikan ide khilafah ini tidak mau mendengar atau bahkan mencibir dan sebagainya, sekarang berubah total, mereka mendukung betul.
Pada kenyataannya pengamat dunia internasional pun  juga memperkirakan khilafah Islam akan berdiri tidak lama lagi. National Intelligence  Council (NIC) yang bersidang di Amerika Serikat baru baru ini, menskenariokan bahwa pada tahun 2020  Islamic Caliphate (khilafah Islam) akan berdiri. Mereka menskenariokan empat kemungkinan pada tahun 2020. Pertama, dunia tetap dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, dunia dipimpin oleh India atau China. Ketiga, dunia dipimpin oleh seorang tiran, entah dari mana. Lalu yang keempat berdirinya Islamic Caliphate. Bila mereka saja bisa memprediksi bahwa khilafah Islam akan berdiri, mengapa kita bilang itu tidak mungkin?
 4. Bagaimana dengan adanya pihak yang mengatakan, khilafah bukan satu-satunya jaminan bagi kejayaan umat Islam?
 Kejayaan umat ditentukan oleh dua faktor. Yang pertama adalah sistem yang baik. Dan yang kedua adalah kepemimpinan yang amanah. Sistem yang baik itu adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang mau tunduk kepada sistem yang baik tadi, dan dia memimpin dengan penuh keadilan.
Secara i’tiqadiy, Allah SWT telah menjamin syariah pasti akan membawa rahmat.  Nabi Muhammad diutus untuk membawa agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin).  Dari berbagai ayat dan hadits, kita  dapat disimpulkan bahwa ‘hinama yakunu asy-syar’u takunu al-maslahah’, dimana ada hukum syariat di situ pasti ada kemaslahatan. Sejarah pun membuktikan hal itu.  Kejayaan Islam masa lalu pun diraih ketika kehidupan Islam  dimana di dalamnya diterapkan syariat terwujud serta umat Islam bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Maka, kejayaan yang sama akan diraih kembali di masa yang akan datang melalui jalan serupa.
Kalau kita percaya bahwa Islam dengan akidah dan syariatnya datang untuk membawa rahmat, dan rahmat  adalah segala kebaikan yang kita angankan berupa  kedamaian, keadilan, kesejahteraan, kemajuan, kebersamaan dan sebagainya, maka bagaimana mungkin rahmat itu akan terwujud kalau kemudian kita menolak ketentuan syariat Islam itu sendiri di mana di dalam syariat itu ada perintah agar kita bersatu.
Kejayaan Islam dibawah Khilafah diakui oleh siapapun yang membaca sejarah dengan jujur. Diantaranya, Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, ia menulis: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.
Jadi, bila bukan dengan khilafah, lantas dengan apa umat Islam akan meraih kembali kejayaannya?
5.     Bagaimana dengan pandangan yang tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh HT menyangkut penyelesaian problematika umat Islam yakni perbaikan sistem dan pemimpin sekaligus. Bagi mereka yang penting pribadi masyarakat bagus, nanti otomatis sebuah negara/bangsa akan bagus.?
Itu asumsi yang tampak indah, tapi tidak faktual. Nyatanya, orang akan cenderung menjadi baik dalam lingkungan dan sistem yang baik. Begitu sebaliknya, orang yang baik akan cenderung tergerus kebaikannya dalam lingkungan dan sistem yang buruk. Lihatlah sekarang ini, dalam lingkungan yang korup banyak birokrat yang baik, akhirnya terseret juga menjadi korup. Oleh karena itu dalam menyelesaikan problem kita harus menggarap dua sisi sekaligus yakni sistem dan kepemimpinan.
6.    Bagaimana dengan tudingan bahwa HT mu’tazilah, khawarij, dan bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah?
Khawarij mempunyai beberapa sebutan. Kadang disebut Haruriyyah karena mereka keluar di suatu tempat yang bernama Harura’. Mereka juga disebut warga Nahrawan, karena Imam Ali memerangi mereka di sana. Di antara kelompok Khawarij ada yang beraliran Abadhiyyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Abadh; ada juga yang beraliran Azariqah, yaitu para pengikut Nafi’ bin al-Azraq, dan aliran an-Najadat, yaitu para pengikut Najdah al-Haruri. Merekalah kelompok yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslim karena sejumlah dosa. Karenanya, mereka juga telah menghalalkan darah kaum Muslim. Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan siapa saja yang loyal kepada keduanya. Mereka telah membunuh Ali bin Abi Thalib setelah menyatakan bahwa beliau halal untuk dibunuh. Secara umum mereka berpandangan bahwa status orang hanya ada dua, Mukmin atau kafir. Mukmin adalah siapa saja yang telah melakukan semua kewajiban dan meninggalkan keharaman. Siapa saja yang tidak seperti itu berarti kafir, ia kekal di dalam neraka. Mereka pun kemudian memvonis kafir siapa saja yang berbeda dengan pandangan mereka. Mereka menyatakan bahwa Utsman dan Ali telah berhukum pada selain hukum yang diturunkan oleh Allah dan zalim. Karena itu, mereka kafir.[1] Bahkan, sekte an-Najadat tegas menolak kewajiban mengangkat imam atau khalifah.[2]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jelas sekali perbedaan Khawarij dengan Hizbut Tahrir, antara lain: Pertama, dalam masalah iman dan kufur, Hizbut Tahrir berpegang pada prinsip pembuktian yang qath‘i (al-burhân al-qâthi‘). Karena itu, Hizbut Tahrir tidak dengan mudah memvonis orang Islam dengan vonis kafir.[3] Kedua, Hizbut Tahrir juga berkeyakinan bahwa umat Islam saat ini masih memeluk akidah Islam, betapapun kotor dan rapuhnya akidah tersebut. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap umat ini tidak lagi berakidah Islam, karena anggapan seperti justru sangat berbahaya, dan membahayakan.[4] Karena itu, Hizbut Tahrir tidak pernah menghalalkan darah kaum Muslim sehingga boleh dibunuh. Bahkan, tumpahnya darah seorang Muslim dianggap masih jauh lebih berharga ketimbang dunia dan seisinya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) benar-benar lebih ringan bagi Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim. (HR at-Tirmidzi).
Ketiga, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua Sahabat adalah adil (kullu ash-Shahâbah ‘udul). Meski seorang Sahabat bisa saja berbuat salah, hal itu tetap tidak akan menghilangkan status keadilannya.[5] Apatah lagi, memvonis Sahabat dan para pengikutnya dengan vonis kafir. Na‘ûdzu billâh.
Keempat, Hizbut Tahrir juga menyatakan bahwa Utsman dan Ali sebagai kepala negara Islam tetap berhukum pada hukum yang diturunkan oleh Allah. Adapun kasus tahkîm yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, yang masing-masing mengangkat Abu Musa al-Asy‘ari dan Amr bin al-Ash, justru untuk menjalankan perintah Allah dalam masalah tahkîm, bukan sebaliknya.
Kelima, dalam konteks pengangkatan imam dan khalifah, termasuk di dalamnya kewajiban menegakkan Khilafah,[6] jelas Hizbut Tahrir sangat berbeda dengan sekte an-Najadat, yang dengan tegas menolak kewajiban tersebut.Tinggal satu masalah, apakah tindakan Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka sama dengan tindakan kaum Khawarij? Tentu tidak. Kaum Khawarij, sebagaimana namanya, adalah mereka yang melawan para penguasa (Khalifah) yang nyata-nyata menjalankan hukum Allah, bukan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah. Sebaliknya, Hizbut Tahrir menasihati penguasa dan mengkritik kebijakan mereka secara terbuka justru karena mereka tidak mau tunduk dan patuh pada hukum Allah. Umumnya, mereka adalah para penguasa boneka dan kaki tangan negara penjajah, pengkhianat Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh kaum Muslim.
Dalam melakukan misinya, kaum Khawarij menggunakan cara-cara fisik dan kekerasan, bahkan sampai membunuh lawannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Ali bin Abi Thalib. Sebaliknya, Hizbut Tahrir, sebagai entitas intelektual, tidak pernah menggunakan cara-cara tersebut. Sekalipun para anggotanya banyak yang telah dianiaya, dizalimi dan dibunuh di dalam penjara-penjara para penguasa despot, Hizbut Tahrir tetap hanya menjalankan aktivitas intelektual dan politik; tanpa sedikitpun menggunakan cara-cara kekerasan, apalagi anarkis. Semua itu dilakukan bukan karena tidak berani atau tidak mampu, tetapi semata-mta karena Hizbut Tahrir berpegang teguh pada garis perjuangan Nabi saw. dan tidak ingin menyimpang sedikitpun, meski hanya seutas rambut.
Lalu, dari mana Hizbut Tahrir dan aktivitasnya disamakan dengan Khawarij, padahal keduanya berbeda sama sekali? Ataukah mereka yang membuat tuduhan itu memang tidak paham tentang Khawarij dan juga Hizbut Tahrir? Atau mungkin mereka paham, tetapi sengaja melakukan penyesatan, karena ada pesanan, sehingga bisa membuat analogi yang sama sekali keliru, yang bahkan membuktikan rendahnya kadar intelektualitas mereka?
Hizbut Tahrir juga berbeda dengan Muktazilah, antara lain: Pertama, dalam masalah akal. Muktazilah dan Asy’ariyah, sama-sama menggunakan akal tanpa batas, sehingga digunakan melampaui kapasitasnya, sebagaimana dalam pembahasan tentang Sifat Allah; apakah sifat sama dengan Zat (Muktazilah), atau berbeda dengan Zat (Asy’ariyah). Kedua, dalam masalah perbuatan. Muktazilah menyatakan, seluruh perbuatan manusia berasal dari manusia, tanpa membedakan mana yang wilayah ikhtiyari dan ijbari. Ini jelas ditolak oleh Hizb. Ketiga, dalam masalah tawallud al-af’al (konsekuensi perbuatan), yang dinisbatkan kepada manusia. Ini juga berbeda dengan pandangan Hizb. Keempat, dalam masalah takwil. Muktazilah cenderung menakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak sejalan dengan pandangannya, sehingga mengorbankan ayat-ayat yang lain. Dengan kata lain, takwil didasarkan pada cocok dan tidak dengan logika, bukan didasarkan pada nas. Ini juga ditolak oleh Hizb. Dengan demikian, jelas sudah, bahwa Hizbut Tahrir tidak bisa dipersamakan dengan Muktazilah. Mempersamakan Hizbut Tahrir dengan Muktazilah hanya menunjukkan kejahilan tentang Muktazilah dan tentang Hizbut Tahrir.
 7.     Mengapa HT tidak  banyak berkembang di Timur Tengah, apakah karena idenya tidak diterima atau karena faktor lain?
Di sepanjang kekuasaan rezim represif di seluruh negara Timur Tengah, bukan hanya HT, gerakan Islam lain yang bersifat politik juga tidak berkembang. Jadi tidak berkembangnya HT bukan karena idenya tidak diterima, tapi lebih karena tekanan penguasa yang memang tidak membiarkan gerakan apapun yang mungkin akan mengancam kekuasaan mereka itu berkembang. Tapi setelah para penguasa itu tumbang, HT dengan cepat berkembang lagi di Mesir, Tunisia, Lybia dan negara-negara Timur Tengah lain.
 8.     Mengapa HT sering dipojokkan?
HT memang sering dipojokkan. Ini aneh, karena dalam perjuangannya HT tidak pernah menggunakan kekerasan atau merugikan orang lain. Gagasan-gasannya juga cukup jelas. Bisa dibaca dan didiskusikan dengan terbuka. Jadi, mengapa HT sering dipojokkan, ada banyak kemungkinan. Bisa karena mereka itu tidak paham substansi dari perjuangan HT, yang intinya bagaimana mewujudkan kembali kehidupan Islam masyarakat dan negara melalui penerapan syariah dalam bingkai khilafah agar kerahmatan Islam bisa dirasakan oleh semua. Bisa juga karena memang tidak suka pada ide ini. Mereka yang tidak paham, insha allah tidak sulit dipahamkan. Dengan sedikit penjelasan, biasanya mereka akan mudah memahami apa sesungguhnya ancaman yang tengah menimpa negeri ini dan apa itu substansi syariah dan khilafah yang tidak lain adalah justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman itu.
Sementara yang tidak suka bisa jadi karena ada penyakit dalam hatinya, bisa juga karena mereka telah diuntungkan oleh sistem sekuler yang ada sekarang ini. Dari sini sebenarnya kita bisa mengatakan bahwa mereka yang menentang ide syariah dan khilafah itulah berarti orang yang tidak menginginkan  Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan mengakui bahwa kemerdekaan negeri terjadi atas berkat rahmat Allah, menjadi lebih baik di masa mendatang. Mereka juga berarti menginginkan penjajahan (baru) tetap terus berlangsung karena mereka turut diuntungkan meski itu telah menyengsarakan rakyat banyak.
9.     Siapa yang ada di balik upaya itu?
 Ada dua. Pertama anasir-anasir di dalam negeri, baik muslim maupun non muslim, yang tidak menginginkan Islam tegak. Bila non muslim, pasti mereka tidak memahami esensi perjuangan HT dengan baik dan sudah keblanjur ada kedengkian dan ketakutan tanpa dasar. Sementara bila muslim, pasti mereka adalah muslim yang telah tersekulerkan. Bagaimana mungkin seorang muslim justru menentang perjuangan  bagi tegaknya syariah dan khilafah yang akan membawa Islam kembali jaya.
Kedua, adalah  negara Barat, yang memang akan terus berusaha melanggengkan hegemoninya di dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Mereka akan menghantam habis setiap kekuatan politik muslim yang berpotensi akan mengganggu hegemoni mereka itu. Dan dalam operasinya mereka akan berkolaborasi dengan kelompok pertama dan kedua tadi.
 10.  Bagaimana HT menghadapi itu semua?
HT menghadapi semua itu dengan tenang dan tegar. HT tidak takut menghadapi semua itu. HT memahami semua itu sebagai salah satu tantangan, hambatan dan rintangan dalam dakwah. Bila karena belum atau salah paham, HT akan datang memahamkannya. Bila itu fitnah, HT akan menjernikah fitnah itu. Dan dalam menghadapi semua tantangan itu, HT yakin sekali akan pertolongan Allah SWT yang pasti akan diberikan kepada para pejuang agamaNya. (Lajnah Tsaqofiyah Hizbut Tahrir Indonesia)


Sumber : ( hizbut-tahrir.or.id/2012/09/05/jawaban-tuntas-pertanyaan-berulang-seputar-khilafah-dan-hizbut-tahrir/ )

Problem Kesejahteraan

[Al Islam 625] Ribuan buruh melakukan aksi besar-besaran di 35 kabupaten/kota, di 12 provinsi. Aksi itu merupakan realisasi dari rencana mogok nasional untuk menyuarakan dan memperjuangkan tuntutan atas penghapusan sistem lepas daya (outsourching), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan mulai 2014. Intinya adalah tuntutan peningkatan kesejahteraan.

Problem Kesejahteraan
Pada intinya apa yang disuarakan oleh para buruh itu berujung pada problem kesejahteraan. Rendahnya tingkat kesejahteraan buruh tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun.
Rendahnya kesejahteraan buruh diindikasikan oleh masih rendahnya tingkat upah. Upah Minimum tertinggi di negeri ini yaitu di DKI untuk tahun 2012 sebesar Rp 1.529.130,-. Upah minimum propinsi dan kota/kabupaten lainnya di seluruh Indonesia lebih rendah lagi. Diantaranya banyak tingkat upah minimum kabupaten/kota yang hanya sekitar setengah dari upah minimum DKI.
Dengan tingkat upah sebesar itu, para buruh harus pintar-pintar bersiasat untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidup sehari-hari, biaya tempat tinggal, biaya pendidikan anak, kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Masalah makin berat ketika upah itu banyak tersedot oleh ongkos transportasi yang mahal, bahkan bisa hingga 30 persen dari upah.
Problem kesejahteraan itu sebenarnya bukan hanya menimpa para buruh, tetapi juga menimpa para petani, pedagang tradisional, pekerja informal dan kebanyakan rakyat negeri ini. Meski sudah 67 tahun “merdeka” dari penjajahan, sudah berganti tiga orde pemerintahan, berganti enam presiden dengan belasan kabinet, sudah mencoba sistem yang lebih dekat ke sosialis, lalu sistem kapitalisme dengan demokrasi masa orde baru, hingga kapitalisme neo-liberal pasca reformasi, juga tak lupa menjalankan berbagai teori pembangunan dan mazhab ekonomi dari sosialis hingga kapitalisme liberal; meski sudah melalui dan mencoba semua itu, nyatanya bagi kebanyakan rakyat negeri ini kesejahteraan masih sebatas mimpi.
Di sisi lain, negeri ini sebenarnya sangat kaya. Produk domestik bruto (PDB) 2011 sudah mencapai sekitar 7.500 triliun. BPS pada Februari lalu juga menyatakan pendapatan per kapita tahun 2011 sudah mencapai Rp 30,8 juta atau sekitar US$ 3.542,9 (artinya, rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia sekitar Rp 2,56 juta per bulan). Sayangnya itu hanya di tataran angka statistik. Kenyataannya jauh berbeda. Para pekerja yang jumlahnya sekitar 37 juta orang, upah minimum yang harus mereka terima paling tinggi sebesar 1,5 juta rupiah dan mayoritasnya hanya setengah dari angka pendapatan perkapita itu. Realita pahit yang sama atau bahkan lebih dirasakan para petani dan nelayan yang sebagian besarnya berskala gurem bahkan hanya penggarap. Dan yang paling pahit harus dirasakan oleh 7,7 juta orang yang termasuk penganggur terbuka alias tidak bekerja sama sekali, atau oleh 29 juta lebih orang miskin versi BPS dengan standar kemiskinan kurang manusiawi.
Jadi problem kesejahteraan bukan hanya dihadapi para buruh saja, akan tetapi dialami oleh kebanyakan rakyat negeri ini. Itu hanya menunjukkan tidak terdistribusinya kekayaan negeri ini secara merata dan adil. Kekayaan hanya terkonsentrasi pada sebagian kecil orang. Itu artinya, sistem ekonomi yang diterapkan di negeri ini gagal mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata, gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak dan sebaliknya sukses menyejahteraan sebagian kecil orang.
Karena itu tuntutan buruh atas tingkat kesejahteraan yang lebih baik itu harus dimaknai sebagai tuntutan perubahan atau penggantian sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem ekonomi yang bisa mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata, sistem ekonomi yang menyejahterakan.

Sistem Islam – Sistem Yang Menyejahterakan
Sistem ekonomi sosialisme maupun kapitalisme termasuk sistem neo-liberal semuanya telah pernah dicoba dan diterapkan di negeri ini, nyatanya tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Karena itu tuntutan dan mimpi akan kesejahteraan tidak lagi bisa digantungkan kepada sistem ekonomi yang terbukti gagal itu. Sistem yang bisa diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan itu hanyalah sistem ekonomi Islam.
Problem kesejahteraan akan bisa diatasi dengan penerapan Sistem Ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memiliki politik ekonomi yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu rakyat dan memberi peluang bagi tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan masing-masing dalam sebuah tatanan masyarakat Islam dengan corak yang khas.
Kebutuhan pokok yang dijamin oleh sistem Islam itu meliputi kebutuhan pokok individu berupa pangan, papan dan sandang dan kebutuhan dasar masyarakat berupa pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Syariah Islam menetapkan bahwa kebutuhan dasar berupa pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan harus dijamin oleh negara.
Pemenuhannya dilakukan oleh negara secara langsung dengan bebas biaya. Sementara kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang dijamin pemenuhannya oleh negara menggunakan tahapan tertentu dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi.
Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggungannnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keluarganya belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya, mulai yang terdekat, diwajibkan untuk turut menanggungnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul saw bersabda:
« اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ، وَعَلَيَّ »
Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku. (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Ketika Islam mewajibkan laki-laki untuk bekerja, saat yang sama Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja. Untuk itu negara bisa langsung menciptakan lapangan kerja melalui pelaksanaan berbagai proyek pembangunan khususnya yang padat karya. Lapangan kerja justru lebih banyak bisa dibuka oleh masyarakat melalui kegiatan usaha mereka. Disinilah negara wajib mewujudkan iklim usaha yang kondusif.
Untuk itulah syariah Islam mengharuskan negara untuk menjamin agar hukum-hukum syara’ terkait ekonomi dan transaksi diterapkan secara baik, konsekuen dan konsisten. Negara juga harus menjamin terlaksananya mekanisme pasar sesuai syariah, diantaranya dengan menghilangkan berbagai distorsi, penimbunan barang dan penimbunan uang/modal -kanzul mal- (QS at-Taubah [9]: 34), riba, monopoli, penipuan, persaingan tidak sehat, dsb. Disamping itu, syariah melarang negara memungut berbagai pungutan, retribusi, cukai, pajak yang permanen, dan pungutan terlarang lainnya. Dalam hal impor/ekspor negara juga dilarang memungut bea dari para pedagang warga negara.
Syariah pun mengharuskan negara menjadi negara pelayan (daulah ri’âyah) dan tidak boleh menjadi negara pemalak (daulah jibâyah). Negara juga harus mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional. Rasul saw pernah bersabda:
« يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا »
Permudahlah jangan kalian persulit, gembirakanlah dan jangan buat orang lari (takut dan sedih) (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Sistem ekonomi Islam juga akan menghapus sektor non riil dan hanya mengembangkan perekonomian riil. Sehingga setiap pertumbuhan akan berupa pertumbuhan riil dan menghasilkan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya.
Dalam hal moneter, Islam menetapkan mata uang haruslah mata uang berbasis emas dan perak atau dinar dan dirham. Dengan begitu akan tercipta kestabilan perekonomian dan kekayaan masyarakat juga terjaga.
Semuanya itu ditopang oleh pilar sistem ekonomi Islam yaitu ketentuan tentang kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara; pengelolaan kepemilikan; dan pendistribusian harta di tengah masyarakat. Termasuk berupa penetapan kepemilikan umum, di antaranya penetapan kekayaan alam tambah dengan jumlah besar, hutan, laut, sungai dan sebagainya sebagai milik seluruh rakyat; negara yang wajib mengelolanya dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Wahai Kaum Muslimin
Dengan penerapan Sistem Ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan dan sandang) dan kebutuhan dasar (pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan) akan dijamin oleh negara. Setiap orang juga akan memiliki kemungkinan dan peluang yang sama dan terbuka luas untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan itu kesejahteraan tidak akan menjadi problem dan sekedar mimpi. Sebaliknya kesejahteraan akan benar-benar nyata dan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, muslim maupun non muslim.
Hanya semua itu tidak akan bisa sempurna diwujudkan kecuali dengan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala manhaj an-nubuwwah. Saatnya hal itu segera mungkin kita wujudkan.
] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ [
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (TQS al-Anfal [8]: 24)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]

Komentar Al Islam

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia menemukan 13.105 kasus penyimpangan dalam penyelenggaraan instansi pemerintah pusat dan daerah pada semester pertama tahun ini. Akibatnya, negara berpotensi merugi hingga Rp 12,48 triliun.(Tempo.co, 02/10)
  1. Bukti reformasi birokrasi gagal. Bukti korupsi masih kuat bercokol di negeri ini.
  2. Pemerintahan yang bersih dan baik memang “mustahil” diwujudkan melalui sistem sekuler kapitalisme dengan sistem politiknya (demokrasi) yang mahal
  3. Hanya melalui penarapan syariah Islam secara total dan menyeluruh dalam bingkai Khilafah Rasyidah sajalah, pemerintahan yang bersih, baik, pedui dan melayani rakyat bisa diwujudkan.

Sumber : ( http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/03/problem-kesejahteraan/ )

Rohis : Persemaian Keshalehan Bukan Sarang Teroris

[Al Islam 624] Dalam dua minggu belakangan muncul semaca “tuduhan”, Rohis menjadi sarang teroris. Pemicunya dalah dialog dalam Program Metro Hari Ini, Edisi 5 September, di Metro TV dengan tag line yang provokatif “Awas, Generasi Baru Teroris”. Dalam acara itu ditampilkan info grafis pola rekrutmen teroris muda: 1. Sasarannya siswa SMP akhir – SMA dari sekolah-sekolah umum; 2. Masuk melalui program ekstra kurikuler di masjid-masjid sekolah; 3. Siswa-siswi yang terlihat tertarik kemudian diajak diskusi di luar sekolah; 4. Dijejali berbagai kondisi sosial yang buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang; dan 5. Dijejali dengan doktrin bahwa penguasa adalah thoghut/kafir/musuh.
Reaksi penolakan dan protes pun segera bermunculan dari berbagai pihak dan kalangan, termasuk ramai-ramai diadukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hingga Senin (17/9), KPI telah menerima sebanyak 8.040 pengaduan terkait acara dialog yang mengkaitkan organisasi Rohis di sekolah-sekolah dengan terorisme di Indonesia.
Sepuluh hari kemudian (15/9) pihak Metro TV memberikan penjelasan atau lebih tepat disebut pembelaan diri. Diantaranya, “Dalam dialog tersebut Profesor Bambang Pranowo menyampaikan hasil penelitiannya bahwa ada lima pola rekrutmen teroris muda. Salah satunya melalui ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Saat dialog berlangsung, ditayangkan info grafik berisi poin-poin lima pola rekrutmen teroris versi Profesor Bambang Pranowo.
Memang redaksi tidak menyebutkan sumber dari info grafik tersebut yang kemudian menimbulkan tafsir bahwa lima pola itu bersumber dari Metro TV. Untuk itu, Metro TV meminta maaf karena telah menimbulkan kesalahpahaman. (Metrotvnews.com, 15/9).
Dalam klarifikasinya ke KPI, pihak Metro TV mengaku dalam acara tersebut tidak menyebutkan organisasi Rohis. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan rekaman yang dimiliki KPI yang menunjukkan adanya penyebutan Rohis yang diucapkan salah seorang narasumber. Koordinator Bidang Isi Siaran KPI Nina Mutmainnah mengatakan, “Kalau kata Rohis, ada (dalam rekaman milik KPI) yang diucapkan narasumber” (Republika.co.id, 17/9).

Intimidasi dan Tuduhan Ngawur
Point-point dalam dialog itu, menyimpan suatu bentuk intimidasi terhadap masyarakat, khususnya para orang tua dan juga pelajar tingkat SMP dan SMU. Di dalamnya dengan jelas disebutkan, siswa kelas IX SMP dan siswa SMU menjadi sasaran perekrutan teroris. Kesimpulan itu bisa menjadi “teror” tersendiri bagi para orang tua yang menyekolahkan anaknya di lebih dari 28.700 sekolah SMP, 10.700 SMU dan 7.500 SMK di seluruh negeri ini. Para orang tua bisa dibuat khawatir dan was-was anak-anak mereka akan menjadi sasaran direkrut oleh teroris. Sungguh aneh, sesuatu yang diklaim bagian dari upaya memberantas terorisme, justru menjadi “teror” yang menanamkan rasa takut dan was-was di masyarakat.
Di dalamnya juga dikatakan, teroris masuk melalui program ekstra kurikuler di masjid-masjid sekolah. Dari point ini, nalar publik dengan sangat mudah memahaminya sebagai pernyataan bahwa teroris masuk melalui Rohis. Sebab program ekstrak kurikuler di masjid sekolah tidak ada lain kecuali Rohis. Karena itu sangat wajar, hal itu merupakan tuduhan, Rohis menjadi salah satu pintu masuk perekrutan teroris; atau sama saja menyatakan Rohis identik dengan teroris.
Disamping itu, tuduhan tersebut juga merupakan tuduhan ngawur. Ungkapan Ketua MUI Lampung, Mawardi AS, bisa mewakili hal itu, “Bagaimana mungkin, organisasi yang memiliki peran besar dalam menyelamatkan pemuda agar memiliki pribadi yang berkarakter, justru dinyatakan sebagai tempat pembentukan teroris?”
Tuduhan ngawur itu muncul karena menggunakan nalar generalisasi. Jika ada satu dua pelaku yang terlibat dalam tindakan teror, dulunya pernah aktif di Rohis, adalah bentuk sesat pikir jika lantas diambil kesimpulan, Rohis menjadi tempat persemaian terorisme atau menjadi pintu masuk terorisme. Padahal ada puluhan ribu Rohis di seluruh negeri ini mengingat total jumlah SMP, SMU dan SMK di negeri ini lebih dari 40.000 sekolah. Jika kesimpulan dalam info grafis itu benar, tentu sudah lahir puluhan ribu alumni Rohis yang terlibat teror. Nyatanya, jumlah mereka tidak lebih dari hitungan jari.
Kenyataan lain, ada satu dua pelaku teror adalah desertir TNI atau Polri, sungguh ngawur jika dilontarkan kesimpulan bahwa TNI atau Polri menjadi salah satu pintu masuk terorisme. Sama halnya, jika ada koruptor yang lulusan suatu universitas, tentu akan sangat ngawur jika dikatakan universitas itu menjadi tempat persemaian koruptor.
Meskipun tampak jelas logika yang dipakai itu merupakan suatu bentuk sesat pikir, toh tetap saja dipakai bahkan bukan hanya dalam kasus tuduhan atas Rohis itu. Sesat pikir yang sama juga terjadi dalam program kontra terorisme. Ketika, pelaku teror menggunakan ungkapan jihad, menggunakan istilah syariah Islam dan khilafah, menentang Amerika dan Barat, dsb, lantas disimpulkan bahwa jihad adalah pemicu terorisme, dan siapa pun yang menyuarakan syariah Islam dan khilafah serta menentang AS dan Barat berarti turut mempromosikan terorisme.
Sesat pikir generalisasi itu ketika digunakan akan sangat berbahaya dan berdampak luas. Pertama, pasti jadi ada tindakan-tindakan tertentu dari pemerintah atau pihak keamanan untuk mengawasi Rohis. Kedua, pihak sekolah bisa terdorong untuk melarang atau setidaknya membatasi Rohis, padahal keberadaan Rohis sangat positif dan berguna juga bagi pihak sekolah. Ketiga, orang tua akan bisa sangat mungkin melarang anaknya untuk aktif di Rohis.

Rohis Persemaian Keshalihan
Tuduhan Rohis menjadi pintu masuk rekrutmen terorisme itu jelas sangat berbahaya. Sebab suatu kegiatan yang sangat positif kemudian dihindari. Padahal keberadaan Rohis itu justru sangat diperlukan saat ini. Sebab saat ini banyak masalah yang mengintai siswa SMP dan SMU, seperti masalah tawuran, narkoba, seks bebas dan sebagainya.
Komisi Perlindungan Anak (KPA) mencatat, enam bulan pertama tahun 2012 ini saja ditemukan 139 kasus tawuran antar pelajar. Sebanyak 12 pelajar tewas dan sisanya luka berat dan ringan. Angka tersebut meningkat dibandingkan periode sama pada tahun 2011, yaitu 128 kasus tawuran. Kasus paling akhir adalah tawuran antar siswa SMU 6 dan SMU 70 Jakarta yang menewaskan Alawy siswa SMAN 6 Jakarta pada 24 September lalu.
Kasus Narkoba di kalangan pelajar juga terus meningkat dan makin membuat miris. Menurut data Badan Narkotika Nasional DKI, tercatat pada 2011, kasus narkoba yang menjerat SMP sebanyak 1.345. Pada tingkat SMA, 3.187 pelajar terancam rusak masa depannya karena barang haram ini (Republika.co.id, 26/5). Sementara itu secara nasional, hasil survei BNN menunjukkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7% dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang (MICOM, 19/2/2011).
Masalah remaja pun makin runyam dengan makin maraknya seks bebas di kalangan remaja. Banyak survei memberi bukti. Akibatnya. angka aborsi di kalangan remaja tinggi. Total dari 2008 – 2010 jumlahnya sebanyak 2,5 juta kasus. Mirisnya, berdasarkan data yang dimiliki Komnas PA, dari 2,5 juta kasus aborsi, sebanyak 62,6 persen dilakukan anak di bawah umur 18 tahun.
Masih ada sederet masalah lain mengancam remaja termasuk siswa SMP dan SMU. Di tengah situasi semacam itu, justru muncul tuduhan tentang Rohis itu. Padahal, Rohis justru sangat diperlukan dan sangat mendukung upaya menyelesaikan segala problem itu.
Mengomentari maraknya tawuran antar pelajar, Kapolda DKI Untung S Rajab, mengatakan, “Paling tidak ada tiga aspek yang harus dimiliki, yaitu knowledge, keterampilan dan moral. Sumber moral adalah agama (Merdeka.com, 25/9). Di sekolah umum, Rohis lah wadah para siswa memupuk moralitas itu dengan mempelajari Islam dan mempraktekkannya, satu hal yang sulit atau hampir mustahil bisa diwujudkan melalui pelajaran agama di sekolah yang hanya dua jam seminggu. Maka sungguh aneh jika muncul tuduhan dan opini yang bisa mendorong Rohis dihambat, diawasi bahkan dilarang.
Sebaliknya, yang semestinya, keberadaan Rohis dan kegiatannya harus didukung, diberi ruang dan difasilitasi. Para orang tua pun semestinya justru mendorong anaknya aktif di kegiatan Rohis, bukan sebaliknya. Bahkan untuk menyelesaikan berbagai masalah remaja yang ada, salah satu cara yang efektif adalah melalui pembinaan Rohis secara intensif. Itu artinya adalah kembali kepada ajaran Islam. Al-Quran sendiri menegaskan, ketika tampak jelas berbagai kerusakan, maka solusinya hanyalah kembali kepada Islam, kembali kepada Syariah.
] ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ [
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (TQS ar-Rum [30]: 41)

Wahai Kaum Muslim
Tuduhan diatas disadari atau tidak adalah bagian dari ekspresi phobi terhadap Islam dan bagian dari upaya untuk memadamkan cahaya Islam yang hanya pantas dilakukan oleh kaum kafir. Namun hal itu pasti gagal. Firman Allah SWT:
] يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (TQS at-Tawbah [9]: 32)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []


Komentar
Apa kejahatan yang paling masif dan terstruktur serta membahayakan bangsa? Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, punya jawabannya, yaitu korupsi. 40 juta penduduk miskin Indonesia jadi korban korupsi, makin melarat kehidupannya secara ekonomi dan budaya. (Republika.co.id, 25/9)
  1.  Korupsi menelan korban lebih banyak dari “terorisme”, jika terorisme diperangi bersama mestinya semua pihak serius melenyapkan korupsi.
  2. Korupsi di negeri ini, akar masalah atau “produsen”nya adalah sistem politik demokrasi yang mahal dan ideologi kapitalisme yang mengajarkan kerakusan dan asas manfaat
  3. Jika serius lenyapkan korupsi, campakkan dahulu sistem politik demokrasi dan ideologi kapitalisme yang menjadi induknya. Berikutnya terapkan syariah Islam secara total dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.

Sumber : ( http://hizbut-tahrir.or.id/2012/09/26/rohis-persemaian-keshalehan-bukan-sarang-teroris/ )

Marah yang Terpuji dan yang Tercela

Saat ini, sangat mudah orang mengumbar amarah. Sering karena hal sepele orang bisa marah. Tak jarang, rasa marah itu berujung pada pertikaian. Hanya karena senggolan motor, orang bisa marah. Hanya karena rebutan jalur saat mengendara, orang bisa melontarkan sumpah serapah. Hanya karena rebutan penumpang, antar kernet angkutan kota bisa saling caci-maki. Hanya karena sepakbola, antara pendukung masing-masing klub bisa saling tawuran. Saat jagonya dikalahkan dalam Pilkada, para pendukungnya tak sedikit yang kemudian melakukan kasi anarkis dan perusakan. Saat foto presidennya diinjak-injak, para pemujanya mengutuk habis-habisan.
Di sisi lain, saat Baginda Rasulullah SAW dihina, banyak Muslim diam seribu bahasa. Jangankan marah, tergetar hatinya pun tidak. Saat Alquran diinjak-injak oleh orang-orang kafir, tak sedikit Muslim yang adem-ayem saja. Jangankan marah, sedikit peduli pun tidak. Saat rutusan bahkan ribuan umat Islam di negeri lain dibantai, kebanyakan kita pun hanya mengelus dada. Saat tempat-tempat suci seperti masjid diledakkan, saat hijab Muslimah dilecehkan, kebanyakan kita pun tak tergerak untuk sakadar menunjukkan amarah. Bahkan pada saat sebagian umat marah dengan  melakukan demonstrasi mengutuk berbagai penodaan dan penghinaan simbol-simbol kesucian Islam dan kaum Muslim, ramai-ramai para penguasa atau pejabat negara berusaha meredam amarah umat tersebut, bahkan tak segan menghalangi dengan kekerasan para demonstran itu.
Islam sebagai agama yang sempurna tentu mempunyai aturan tentang marah. Marah bukan hanya boleh, bahkan harus, saat kehormatan Allah SWT dan Rasul-Nya dilanggar. Sebaliknya, marah justru dilarang jika didorong oleh sentimen etnis, kelompok, golongan atau kebangsaan (’ashabiyah) karena semua itu hanya bersumber dari hawa nafsu dan setan.
Kita harus meneladani Baginda Rasulullah SAW, kapan dan bagaimana beliau marah. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mampu mengendalikan dirinya dan paling bagus akhlaknya. Beliau adalah orang yang paling penyayang dan lembut. Sesungguhnya Nabi SAW  adalah orang yang lebih pemalu dari para gadis pingitan, jika melihat sesuatu yang beliau benci, akan diketahui dari wajahnya (HR al-Bukhari). Beliau pun menyatakan: Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah (HR al-Bukhari).
Abu Darda ra pernah menuturkan bahwa pernah ada seorang berkata kepada Nabi SAW, “Nasihatilah saya.” Rasulullah bersabda “Jangan marah1”. Orang itu mengulangi permintaannya,  Rasul SAW pun mengulang sabdanya, “Jangan marah!” (HR al-Bukhari).
Sikap marah mengantarkan seseorang untuk melakukan banyak keburukan, cacian,  umpatan dan  kata-kata kotor; bahkan pemukulan, perusakan fasilitas umum hingga melakukan tindak pembunuhan. Karena itu, menghindari marah sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, hidup pemaaf dan berkasih-sayang terhadap sesama,  akan menghindarkan seseorang dari banyak keburukan dan kejahatan.
Namun dalam kondisi tertentu, Baginda Rasulullah SAW pun bisa marah, tentu semata-mata karena Allah SWT. Ada riwayat yang menyatakan: Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi rasa marahnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain dinyatakan: Tidaklah Rasulullah SAW dihadapkan pada dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak merupakan suatu dosa. Namun, bila sesuatu itu dosa, beliau adalah orang yang paling menjauh darinya. Tidaklah beliau membalas karena dirinya kecuali kehormatan Allah SWT dilanggar maka beliau pun marah (HR al-Bukhari).
Jabir ra menuturkan, “Rasulullah SAW,  bila marah, dua matanya berwarna merah, suaranya meninggi dan kemarahannya mengeras hingga seperti seorang komandan memperingatkan pasukannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, dalam banyak hal kita pun harus marah, misal: saat kehormatan Islam dilecehkan, saat orang-orang kafir mengolok-olok Islam, saat orang-orang liberal mengacak-acak Alquran, saat para penguasa membuat UU yang bertentangan dengan Islam dan melakukan berbagai kezaliman, saat saudara-saudara sesama Muslim dihinakan bahkan dibantai tanpa belas kasihan, dsb. Dalam hal seperti ini kita bukan hanya boleh marah, bahkan harus marah. Jika mampu kita wajib mengubahnya dengan tangan (kekuasaan), atau dengan lisan (dakwah) atau dengan hati—meski itu menandakan iman yang paling lemah (HR Muslim). Jika dengan hati pun tidak bisa—adem-ayem dan acuh-tak acuh—maka bisa jadi tidak ada lagi keimanan yang tersisa. Na’udzu bilLah min dzalik. [] abi


 Sumber : ( http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/03/marah-yang-terpuji-dan-yang-tercela/ )

Benarkah Indonesia Makin Sejahtera? (Mengkritisi Pernyataan BPS)

Oleh: Dr. Ir. M. Kusman Sadik


Andaikata bersandar pada data Badan Pusat Statistik (BPS), maka Indonesia dapat digolongkan sebagai negara yang sukses meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pasalnya secara periodik BPS mempublikasikan persentase penduduk miskin di Indonesia yang terus mengalami penurunan.
Pada Senin, 2 Juli 2012, BPS kembali mempublikasikan data penurunan persentase kemiskinan tersebut. Berdasarkan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) terbaru yang mereka lakukan, dilaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96%) menurun dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang mencapai 30,02 juta orang (12,49%). Artinya ada penurunan jumlah rakyat miskin sebanyak 890 ribu jiwa (0,53%) dalam rentang waktu 12 bulan atau rata-rata ada penurunan 74 ribu jiwa setiap bulannya. Tentu saja angka penurunan ini mengundang tanda tanya besar. Mengingat realitas kehidupan masyarakat yang terus dililit oleh berbagai beban ekonomi yang semakin berat, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok, makin sempitnya lapangan kerja, gagal panen, dan sebagainya.
Menilik pola tersebut, maka bisa diprediksi bahwa pada Maret 2013 nanti kemungkinan besar BPS akan kembali mempublikasikan hasil Susenas 2013 dengan persentase penduduk miskin yang mengalami penurunan dibandingkan dengan Maret 2012. Bahkan bisa saja pada Maret 2014 akan dipublikasikan terjadinya penurunan tersebut dengan angka yang drastis, mengingat pada tahun tersebut akan terjadi ‘pertandingan seru’, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Karena menyangkut nasib dan kehidupan masyarakat maka data kemiskinan versi BPS ini tentu saja perlu dikritisi.

Kritik Terhadap Data dan Konsep Kemiskinan
Kritik terhadap akurasi data kemiskinan BPS bisa terkait teknis maupun non-teknis. Aspek teknis berhubungan dengan teknik sampling Susenas yang menjadi instrumen pendataan penduduk miskin. Sedangkan aspek non-teknis terkait dengan konsep/kriteria dan kebijakan pendataan serta pemecahan problem kemiskinan. Kelemahan secara teknis adalah terlalu kecilnya jumlah sampel Susenas yaitu 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia (www.bps.go.id). Artinya hanya menggunakan sampel sekitar 0,1 persen untuk menggambarkan tingkat kemiskinan masyarakat. Lebih-lebih lagi kondisi tingkat kemiskinan (tingkat pendapatan) tersebut sangat heterogen baik di dalam satu daerah maupun antar daerah. Secara statistika, semakin heterogen suatu populasi maka makin semakin besar pula sampel yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan populasi tersebut secara representatif. Karena itu semestinya diperlukan sampel berkisar antara 10 hingga 15 persen sampel rumah tangga untuk menggambarkan tingkat pendapatan atau tingkat kemiskinan tersebut.
Namun yang lebih krusial adalah persoalan non-teknis yang menyangkut konsep dan kebijakan pendataan kemiskinan itu. Artinya meskipun secara teknis sampling diperbaiki namun persoalannya tidak selesai apabila konsep dan kebijakannya tidak berubah. Diantaranya adalah: Pertama, tujuan pendataan penduduk miskin melalui Susenas BPS tersebut pada dasarnya tidak terkait langsung dengan upaya penyelesaian problem kemiskinan itu sendiri. Sebab jika serius mau menyelesaikan problem kemiskinan maka mestinya pendataan penduduk miskin harus bersifat individu per individu berdasarkan by name – by address. Sehingga bisa diketahui siapa dan dimana mereka yang terkategori miskin tersebut, tidak sekedar jumlahnya. Jika tidak, maka pendataan kemiskinan lebih bersifat proyek dan kepentingan pencitraan politik tanpa menyentuh persoalan utamanya yakni pengentasan kemiskinan.
Kedua, kriteria kemiskinan yang digunakan BPS tidak sesuai dengan realita.  Garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini sekitar Rp 8 ribu per orang per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara layak dengan uang Rp 9 ribu. Kriteria BPS itu sangat jauh dibawah standar yang dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari. Apabila menggunakan standar Bank Dunia ini maka penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa.
Ketiga, data penurunan persentase warga miskin versi BPS itu juga bersifat paradoksal dengan kebijakan pemerintah yang pro pasar (kapitalisme) dan tidak berpihak pada rakyat. Sehingga penurunan tersebut menjadi tidak logis karena beberapa kebijakan pemerintah justru mengarah pada pemiskinan masyarakat. Selama ini pemerintah sangat ‘hobbi’ memangkas berbagai subsidi rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, pupuk, benih, tarif dasar listrik, BBM, dan sebagainya. Misalnya, subsidi pupuk pada APBN 2012 mengalami penurunan dibandingkan dengan APBN 2011, yaitu dari Rp 18,9 triliun pada tahun 2011 turun menjadi Rp 16,9 triliun pada tahun 2012. Kemudian dipangkas lagi menjadi Rp 13,9 triliun dalam APBN-P 2012. Subsidi benih juga diciutkan secara drastis, yaitu dari Rp 279,9 miliar dalam APBN 2011 turun menjadi separuhnya yaitu Rp 129,5 miliar dalam APBN-P 2012 (finance.detik.com, 15/03/12).
Bahkan saat ini pemerintah melalui RAPBN 2013 berencana melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik setiap tiga bulan mulai Januari 2013. Hal ini berarti pemerintah akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan menghapus subsidi listrik secara bertahap. Penyesuaian tarif listrik ini telah ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato RAPBN 2013 di Gedung DPR Jakarta (Kamis, 16/8). Sementara Wakil Menteri ESDM, Rudi Rubiandini, menyatakan bahwa tidak hanya TDL yang diusulkan naik pada tahun 2013, namun harga BBM juga diusulkan naik dengan kenaikan sebesar Rp1.500 (Rabu, 15/8).
Kenaikan TDL dan harga BBM tersebut akan menghantam masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsungnya adalah masyarakat tidak akan memperoleh aliran listrik dan mengurangi konsumsi BBM karena tarifnya tidak dapat dijangkau oleh keuangan mereka. Hantaman secara tidak langsung terjadi ketika perusahaan menaikkan harga jual produknya di pasar sehingga pengeluaran masyarakat untuk membeli produk tersebut akan meningkat.
Karenanya sangat mengusik akal sehat ketika BPS menyatakan bahwa telah terjadi penurunan persentase penduduk miskin, padahal kebijakan pemerintah justru semakin menenggelamkan masyarakat pada kubangan kemiskinan. Sehingga klaim telah terjadi penurunan kemiskinan hanya benar jika maknanya adalah bahwa kemiskinan tersebut diturunkan pada anak cucunya.

Kegagalan Kapitalisme
Problem kemiskinan tersebut termasuk salah satu persoalan utama yang melilit masyarakat Indonesia. Hal ini semakin melengkapi bukti kegagalan sistem Kapitalisme yang menjadi landasan kebijakan ekonomi Indonesia. Sistem ini juga telah ‘memamerkan’ kegagalannya dalam krisis ekonomi di AS dan Eropa.  Misalnya, banyak koran di Eropa kini mengabarkan keluhan sekolah dan guru tentang murid yang tidak bisa berkonsentrasi karena lapar (guardian.co.uk, 20/06/2012). Organisasi amal seperti Donatur Makanan (FoodBanks) yang mendistribusikan makanan di antara orang-orang yang tidak mampu membeli makanan yang mereka butuhkan, kini telah menjadi pemandangan umum di kota-kota Eropa. Di Inggris sendiri jumlah warga yang membutuhkan bantuan makanan seperti itu bertambah dengan rata-rata dua orang per minggu (guardian.co.uk, 26/04/2012). Bahkan di Yunani, salah satu negara Eropa yang paling terpukul oleh krisis kredit, diberitakan telah terjadi beberapa kasus pembuangan bayi dan anak akibat ketidakmampuan ekonomi orang tuanya.
Tragisnya, sebagaimana di AS dan Eropa, pada saat warga di sini makin tenggelam dalam kemiskinan justru kelompok elit kaya semakin menggelembung hartanya. Ketimpangan ekonomi seperti ini memang merupakan penyakit kronis dari sistem Kapitalisme. Penyebabnya karena sistem ini lebih fokus pada upaya pertumbuhan ekonomi makro tanpa memperhatikan distribusinya. Mereka berkhayal, bahwa jika terjadi pertumbuhan maka akan berdampak secara otomatis akan mengatasi problem kemiskinan. Tidak diperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan ekonomi riil seperti pengerjaan proyek pembangunan, jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil atau sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana, dan lainnya yang cenderung menghasilkan pertumbuhan semu. Paul Krugman, pemenang Hadiah Nobel tahun 2000, menyebut pertumbuhan semacam itu sebagai ekonomi balon (bubble economy) yang secara faktual cenderung tidak stabil.
Dalam Islam, sektor finansial tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pertumbuhan karena sektor ini memang tidak ada. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem Islam, meski mungkin tidak sespektakuler dalam sistem ekonomi Kapitalisme, adalah pertumbuhan yang nyata dan stabil karena memang benar-benar berasal dari sektor kegiatan ekonomi masyarakat yang nyata. Disamping itu, untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat, sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan sistem distribusi kekayaan. Artinya buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Ini berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalisme yang menyatakan bahwa problem ekonomi adalah kelangkaan (scarcity) akibat tidak berimbangnya antara kebutuhan dan alat pemuas kebutuhan. Untuk mengatasinya mereka hanya fokus pada aspek produksi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara aspek distribusi, mereka menyerahkannya pada mekanisme pasar. Karena itulah peran negara dalam mendistribusikan kekayaan sangatlah terbatas. Akibatnya, kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sedikit sisa-sisa kekayaan.
Disamping itu, kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material saja, namun juga dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Sehingga masyarakat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi dua keadaan tersebut, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya, serta terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal, dan kehormatan manusia.
Dengan demikian, kesejahteraan tidak hanya merupakan hasil sistem ekonomi semata, melainkan juga buah sistem hukum, sistem politik, sistem budaya, dan sistem sosial. Allah Swt telah menjadikan agama Islam ini sebagai agama yang sempurna. Karenanya, perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah harus dapat pula dibaca sebagai perjuangan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi masyarakat. Wallaahua’alam.[]


Sumber : ( http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/03/benarkah-indonesia-makin-sejahtera-mengkritisi-pernyataan-bps/ )

Ada Di balik LKS Bergambar Artis Porno ?

Figur bobrok pun dipromosikan sebagai teladan di kalangan pelajar.
Sungguh miris. Buku pelajaran sekarang kok semakin kurang ajar. Bagaimana tidak, anak-anak usia SMP malah diajar untuk mengenal simbol seks super bejat dari kalangan artis internasional.
Ya, belum lama ini dunia pendidikan kembali gempar gara-gara ditemukannya sepotong wajah artis porno Jepang Maria Ozawa alias Miyabi di dalam buku pelajaran sekolah.
LKS Bahasa Inggris The Bell Kelas IX SMP ditemukan kali pertama di SMP Islam Brawijaya, Kota Mojokerto. LKS bergambar Miyabi ini sudah beredar di sekitar 29 SMP negeri se-Kabupaten Mojokerto. (Kompas.com.26/9/12)
Di buku itu, anak didik diminta mendeskripsikan apa yang mereka ketahui tentang Miyabi. Walaupun gambarnya terbilang sopan, namun ini sama saja dengan mengajari anak-anak untuk mengenali dunia pornografi.
Tak ayal jika berbagai kalangan berang. “LKS ini harus ditarik dan diganti, juga penerbit dan penyusun tidak dipakai lagi tahun depan,” kata Ketua DPRD Kabupaten Mojokerto Setia Puji Lestari seusai rapat dengar pendapat dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto, Selasa (25/9/2012).
Teladan Kebobrokan
Sebelum geger Miyabi, buku pengayaan pembelajaran anak SD juga pernah ditemukan bermuatan pornografi. Seperti buku Duka di Wibeng,Tambelo Kembalinya si Burung Camar, dan Tidak Hilang Sebuah Nama yang pernah beredar di 136 SD di Kebumen. Di sana ada dialog tentang bagaimana trik berhubungan seks agar terhindar dari kemungkinan hamil dan penyakit kelamin. Lalu jauh sebelum itu, ada buku untuk anak SD memuat kisah tentang “istri simpanan”.
Jadi, kasus Miyabi ini hanya pengulangan dari keteledoran (atau memang sengaja?) pihak terkait terhadap konten buku ajar. Yang mengherankan, mengapa sosok Miyabi yang dipilih untuk menguji pengetahuan siswa? Mungkin tujuannya agar siswa selalu mengetahui informasi kekinian, yang trend alias up to date. Tapi, bukankah masih banyak sosok terkenal lainnya yang lebih baik dan bisa diteladani? Bukankah semua tahu betapa bejatnya sosok Miyabi? Orangtuanya sendiri memutus hubungan dengan bintang porno ini karena memilih menjadi artis pengumbar syahwat sekaligus pemuja seks bebas.
Inilah bukti kekeroposan moral bangsa ini. Bahkan sekadar mencontohkan sosok teladan dalam buku pelajaran pun, pihak-pihak terkait –khususnya yang terlibat dalam penyusunan dan penerbitan buku– tak mampu memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.
Betapa banyak sosok bobrok yang disanjung-sanjung dan dipromosikan sebagai teladan di kalangan anak-anak dan remaja. Mereka terus diekspose media massa, meski secara pribadi cacat moral. Contoh lain, siapa anak kecil yang tak kenal Ariel Noah (dulu Peterpan, red)? Pelaku zina ini justru makin melambung namanya selepas dari penjara. Apakah pemahaman tentang sosok-sosok seperti ini yang  ingin ditanamkan pada anak didik? Teladan apa yang bisa diharapkan generasi penerus dari mereka?
Pendidikan Seks Ala Barat
Beredarnya buku pelajaran yang kontraproduktif dengan tujuan pendidikan, hendaknya menjadi perhatian serius. Pasalnya, bukan sekali-dua pemerintah kecolongan dengan beredarnya buku-buku bermuatan jorok tersebut. Hal ini membuktikan lemahnya pengawasan terhadap buku-buku pelajaran karena ternyata tidak steril dari konten yang tak mendidik, bahkan cenderung merusak.
Mungkin, ada yang berdalih “tidak apa-apa sebagai pendidikan seks untuk anak-anak”.  Padahal anak-anak SD dan SMP sejatinya belum membutuhkan pemahaman terkait hal-hal yang sifatnya tabu berupa seks. Mereka bukanlah manusia dewasa yang kebelet ilmu-ilmu seks dikarenakan kebutuhan menikah, satu-satunya jalan legal untuk menyalurkan naluri seksual.
Lalu untuk apa dijejali pendidikan seks sejak dini? Terlebih jika pendidikan seksnya mengadopsi kurikulum ala Barat yang sarat dengan rangsangan-rangsangan seksual. Seks adalah “ilmu alamiah,” kelak anak-anak akan tahu pada saatnya, walaupun tidak dengan pendidikan seks secara khusus.
Pemaksaan Nilai Liberal
Belakangan ini seolah ada pemaksaan agar anak-anak sejak usia dini memahami masalah seks. Seperti dirancangnya kurikulum kesehatan reproduksi (Kespro) ala Barat, termasuk di dalamnya mengenal alat-alat kontrasepsi sejak dini. Kondom pun lantas dikampanyekan ke sekolah-sekolah hingga pesantren dengan dalih menambah pengetahuan siswa agar kelak bisa menghindarkan diri dari penularan HIV/Aids. Apa urgensinya?
Semua itu tidak terlepas dari diterapkannya sistem sekuler saat ini yang tidak menabukan seks. Dalam pandangan ideologi sekular-liberal ini, seks dianggap sebagai motivator kehidupan. Manusia  akan loyo, tidak aktif dan kreatif jika naluri seksnya disumbat. Karena itu, ideologi ini meniscayakan pengumbaran syahwat di manapun, kapanpun dan untuk siapapun.
Ironisnya, filosofi rusak ala Barat ini justru diimpor dengan sadar oleh negeri ini. Kran pornografi dan pornoaksi pun lantas dibuka lebar-lebar. Kebebasan pers, kemajuan teknologi dan mengglobalnya informasi telah membawa serta sampah informasi berupa kepornoan yang begitu mudah diakses.
Informasi seputar pornografi dan pornoaksi dikemas seolah-olah elegan dengan mengatasnamakan ilmu pengetahuan berjuluk seksologi. Rubrik konsultasi seks bertebaran di media cetak dan online yang bisa dibaca anak-anak sekalipun. Padahal di dalamnya berisi tata cara senggama yang sangat privat dan tabu dibicarakan di ranah publik.
Tak heran bila Indonesia selalu menduduki ranking atas untuk ¨prestasi¨ pornografi. Dan tak aneh pula bila anak-anak Indonesia kian akrab dengan hal-hal berbau kepornoan. Bukan mustahil bila 5, 10 atau 15 tahun mendatang anak-anak akan tumbuh menjadi generasi  pemuja syahwat persis seperti yang terjadi di Barat. Bukankah tanda-tanda kehancuran moral remaja saat ini sudah demikian kentaranya? Apakah masih kurang bukti bagi kita untuk bertindak?
Pandangan Islam
Islam mengakui naluri seksual sebagai fitrah manusia. Nah, karena sifatnya fitrah, akan secara alami manusia mampu mengimplementasikannya dalam kehidupannya kelak ketika dewasa dan masa itu tiba (baca: menikah).
Islam tak pula menafikkan ilmu pengetahuan tentang naluri seksual, namun tidak akan diumbar untuk konsumsi publik secara vulgar. Terlebih tak perlu diajarkan pada anak-anak sejak usia dini. Pendidikan seks pada hakikatnya sudah include dengan pendidikan tsaqofah Islam secara terintegrasi. Juga, include dengan penerapan sistem kehidupan berdasar syariat Islam secara keseluruhan.
Misalnya, melalui penerapan sistem pergaulan sosial, dimana Islam membentengi warga negaranya dari pemicu syahwat di ranah publik. Caranya, negara wajib memblokir arus kepornoan di tempat umum. Negara wajib melarang warga negaranya mengumbar aurat, khalwat, ikhtilat, dan memerintahkan menundukkan pandangan. Semua itu semata-mata untuk membersihkan masyarakat dari racun-racun pembangkit syahwat.
Dengan cara seperti ini kepornoan tak akan eksis. Apalagi sampai mengakomodasi bom seks semacam Miyabi. Tak akan pernah, selama sistem Islam ditegakkan secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.(kholda)


Sumber : ( http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/06/ada-dibalik-lks-bergambar-bintang-porno/ )