Sabtu, 26 Mei 2012

Kalau Muslim Jangan Cengeng (Part I)

Apa yang terjadi di Bekasi beberapa waktu lalu memang mempermalukan “akal sehat agama”. Bagaimana tidak salah satu ordo Kristen yang bernaung di bawah Yayasan Mahanaim menawarkan proposal pemberian motivasi belajar kepada SDN  01, SDN 05 dan SD Al Hikmah, desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan Bekasi. Tentu saja pengajuan proposal itu tidak atas nama Yayasan Mahanaim, tetapi atas nama Yayasan Satria Bangsa. Saat pemberian motivasi berlangsung nampak sekali upaya untuk pengenalan agama Kristen kepada para siswa, termasuk pada hadiah yang disediakan sarat dengan corak kekristenan, seperti gambar Yesus dan petikan ayat-ayat Bible[1]. Sebenarnya apa yang terjadi di Bekasi ini adalah fenomena gunung es kristenisasi di tengah umat Islam.
Kasus lain yang saya jumpai adalah pemberian beasiswa 394 anak dari keluarga muslim miskin di Pemalang oleh pihak gereja. Kalau beasiswa itu bersifat ikhlas tentu tidak ada masalah, akan tetapi ketika pemberian beasiswa itu mensyaratkan pelibatan anak-anak tersebut dalam kegiatan di gereja tentu mengundang tanda tanya besar. Saya masih ingat betul, bagaimana ada nada gusar dari salah seorang ulama sepuh yang beliau menyatakan dekat dengan Gus Dur. Bayangkan, kalau seorang yang dekat dengan Gus Dur yang dikenal ramah pada non muslim saja, sampai gusar, berarti pelanggaran itu bersifat mugholadhoh. Untunglah, masalah itu bisa terselesaikan ketika MUI beserta ormas Islam mengambil alih masalah tersebut.
Beberapa teman saya lihat sangat geram dan marah ketika menanggapi berita kristenisasi. Saya sendiri sering menanggapinya dengan kalimat pendek “nek watuk kuwi tambane gampang, nanging nek watak yo susah nambani ne”.  Mengapa demikian ? Karena kristenisasi adalah salah satu denyut nadi utama dalam agama Kristen, seperti yang dikatakan oleh Paus John Paul II, yang mengeluarkan fatwa gerejani agar kaum katholik mengambil tindakan untuk menyebarkan agama katholik. Ia mengemukakan pentingnya untuk melakukan Kristenisasi terhadap semua bagian dunia (to evangelise in all parts of the world).
Dalam “The Decree on The Missionary Activity of the Church” (Ad Gantes), disebutkan bahwa, “Gereja –apapun namanya- memiliki tugas suci untuk menyebarkan Injil kepada seluruh bangsa dan seluruh manusia. Sebab itu, semua manusia harus dijadikan Kristen dan menerima Yesus sebagai juru selamatnya.”  Dokumen ini disetujui dengan voting para peserta konsili dengan suara 2394 setuju dan 5 menolak dan diumumkan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965[2]
Prinsip ini tidak hanya berlaku di Katolik, tetapi juga di kalangan Kristen Protestan. Posisi misi barangkali mirip dakwah dalam Islam. Oleh karena itu, tidak mungkin orang Kristen akan menghentikan aktifitas Kristenisasi, sebab ia adalah salah satu bilik utama dalam jantung agama mereka. Apabila bilik itu disumbat, maka ia akan sekarat, seperti fenomena yang kita lihat pada Kristen Eropa saat ini. Hanya saja karena umat Kristen itu tinggal di sebuah wilayah majemuk dengan beragam agama, maka tentu para misionaris itu harus belajar etika dalam bergaul di tengah masyarakat, sehingga dalam penyebaran agamanya tidak ngawur seperti “sales yang diburu target” kata seorang teman saya yang beragama Katolik.  Penginjilan tanpa etika ini memang sering memakan korban anak-anak, seperti dua kasus yang saya paparkan di atas.
Jangankan anak-anak yang berasal dari kalangan awam, anak seorang menteri agama pun tidak luput dari upaya propaganda dari misionaris Kristen. KH, Saifuddin Zuhri, yang menjabat Menteri Agama pada era Presiden Sukarno menceritakan pengalamannya terkait hal ini :
Semua orang tahu bahwa aku –meskipun Menteri Agama- tetapi selaku pribadi aku adalah orang Islam. Suatu hari datang kepadaku seorang propagandis Kristen menawarkan buku-buku bacaan ke-Kristenan untuk anak-anakku. Aku katakan kepadanya bahwa aku mempunyai perpustakaan pribadi di rumah, juga untuk anak-anakku … kalau kepada seorang Muslim yang kebetulan Menteri Agama propagandis Kristen dengan leluasa mendatanginya, betapa pula terhadap orang-orang Islam golongan awam[3]
Saya masih ingat betul,ketika kelas 3 SMP dulu, saya terbangun jam tiga malam, ketika mendengar rombongan anak-anak berjalan kaki. Mereka adalah murid-murid kelas tiga sebuah SMP Katolik, yang mayoritasnya (lebih dari 90%) adalah muslim. Kata teman saya yang mengikuti kegiatan tersebut, malam itu mereka disuruh berdo’a kepada Yesus di gereja, memohon supaya diberi kelulusan. Caranya gimana tanya saya ? Disuruh menulis di kertas, kemudian kertas tersebut dibakar di altar. Tentu saja saya tidak akan mempermasalahkan tata cara berdo’a nya, namun waktu itu saya sudah berkesimpulan bahwa hal itu sangat mencederai keyakinan dasar seorang muslim.
Obyek Penderita Itu Tidak Enak
Ada sebuah eksperimentasi sederhana, dari beberapa teman yang kebetulan menjadi pegiat dalam penanggulangan kristenisasi. Kira-kira empat tahun lalu, beberapa teman membuat satu booklet sederhana yang berisi perbandingan konsep ketuhanan antara Islam dan Kristen. Yang tentu saja dibuat dari sudut pandang seorang  muslim. Kemudian booklet sederhana itu di taruh di atas jok-jok sepeda motor yang terparkir di halaman gereja yang sedang melakukan kebaktian. Di booklet itu disertakan nomor kontak dan alamat email. Respon yang diterima via sms sangat beragam, mulai dari mencaci maki sampai mengeluh. Tetapi mayoritas mereka menyampaikan keluhan yang intinya, “mengapa kalian mengganggu iman kami ? padahal kami tidak pernah mengganggu kalian ?”.  Ratusan keluhan senada masuk dalam sms kontak yang dicantumkan. Padahal dalam obyek pemilihan penyebaran selebaran adalah gereja yang dalam penilaian teman-teman, cukup aktif melakukan “kristenisasi” di tengah masyarakat.
Satu hal yang menarik, karena pelaku lapangnya adalah teman yang lugu dan lurus-lurus saja, ia akhirnya ditangkap oleh satpam gereja dan kemudian diserahkan ke pihak kepolisian. Dan di kepolisianpun ia ketika diberitahu akan dimeja hijaukan, sekali lagi dengan lugu menjawab. “Justru saya memang ingin dimeja hijaukan, sebab baru satu macam brosur yang saya bagikan. Sedangkan saya punya bukti setumpuk buku dan brosur yang dibagikan pihak kristen ke keluarga-keluarga muslim.” Sambil meletakkan tumpukan buku dan brosur hasil laporan masyarakat yang merasa resah dengan “pembagian brosur dan buku” dari pihak kristen ke keluarga mereka. Akhirnya, pihak kepolisian dan pelapor dari pihak gereja pun tidak melanjutkan kasus ini. Dan ternyata, menjadi obyek itu memang tidak mengenakkan.  Wallahu a’lam bish showab.
Oleh : Arif Wibowo - Pemerhati Sejarah Dan Aktivis INSIST
Red : Aditya Abdurahman Abu Hafidz
[1] Ada Upaya Pemurtadan Berkedok Mobil Pintar, berita di HU Republika, Selasa 25 Oktober 2011, hal. 12 kolom 2-3.
[2] Rizki Ridyasmara, 2006, Gerilya Salib di Serambi Mekkah, Dari Zaman Portugis hingga Paska Tsunami”, Pustaka Kautsar Jakarta. Hal. 158
[3] AG Muhaimin , KH Saifuddin Zuhri : Eksistensi Agama dalam Nation Building  dalam Azyumardi Azra, Dr, dkk, Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, (Jakarta : Kerjasama INIS-PPIM-Balitbang Depag  : 1998) hlm. 237.


0 komentar:

Posting Komentar