Sabtu, 26 Mei 2012

Kalau Muslim Jangan Cengeng (part II): Mencari Akar Stigma

Dalam sebuah pertemuan, Franz Magnis Suseno, salah seorang Jesuit Senior di Indonesia terlibat pembicaraan serius dengan Dr.  Adian Husaini, salah cendekiawan muda muslim. Inti pembicaraan itu adalah keberatan Romo Magnis, atas penolakan umat Islam pada salah satu pembangunan gereja Katolik di salah satu wilayah di Jakarta. Padahal kata Franz Magnis, gereja yang ada sudah tidak lagi mampu menampung jemaah yang ada, yang mengalami perkembangan secara alami, melalui kelahiran dan migrasi. Nampaknya Adian Husaini bisa memahami keberatan Franz Magnis Suseno, namun Adian juga menunjukkan beberapa fakta yang selama ini mungkin tidak terlintas dalam benak seorang Magnis Suseno.  Pendirian gereja, kata Adian Husaini, di kalangan masyarakat muslim, sering dipandang sebagai sebuah ekspansi keagamaan bukan sekedar kebutuhan akan tempat beribadah. Gereja identik dengan kristenisasi, dan stigma ini kata Adian Husaini, tidak muncul dari sebuah sikap su’udzon (prasangka buruk) tetapi karena fakta yang memang terjadi di masyarakat.
Kemudian Dr. Adian Husaini membuka laptop dan menunjukkan salah satu acara di sebuah Sekolah Tinggi Theologia di Jakarta, dimana semua peserta lelakinya menggunakan peci dan perempuannya berjilbab. Acara tersebut berjudul “Lomba Thilawatil Injil”, dimana injil dibaca dengan bahasa arab dan dilagukan persis seperti para qari dan qari’ah membaca Al Qur’an saat Musabaqoh Tilawatil Qur’an. Selain itu juga ditunjukkan pertunjukkan “Shalawatan Kristen” yang nge “plek” tradisi shalawatan di masyarakat muslim. Belum selesai klip di putar, Franz Magnis Suseso bergumam “Menjijikkan”. Sebuah komentar spontang dari seorang Franz Magnis Suseno. Jadi, seandainya ada anggapan bahwa “gereja” identik dengan “kristenisasi” sesungguhnya stigma itu muncul juga akibat ulah “sebagian” orang kristen itu sendiri. Kalau kemudian orang Katholik yang cukup disiplin dalam pembangunan gereja ikut kena imbas, jangan hanya menuding umat Islam, pihak Kristen juga harus berani membenahi unsur internalnya dari kelompok “bandel”  dan “bengal” yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Apa yang disampaikan Dr. Adian Husaini yang menyebabkan Franz Magnis Suseno secara spontan berujar “menjijikkan” itu barulah sejumput kecil fakta dan sebenarnya juga tidak terlalu “istimewa”.  Bagi rekan-rekan yang pernah nyantri di Ma’had Al Adhzar Bogor di tahun 1993-an tentu tidak akan lupa kisah penyamaran seorang mahasiswi Sekolah Tinggi Theologi ke pesntren tersebut. Suatu ketika seorang perempuan muda berjilbab, mengaku mualaf datang ke pesantren dengan alasan diusir oleh pihak keluarga. Oleh para santriwati diterima dengan baik, dan ikut terlibat aktif di kegiatan pesantren. Namun setelah satu bulan berselang, para santriwati yang selama ini memperlakukan “mualaf” tersebut dengan baik dibuat terperangah, sebab pada hari itu sang “mualaf” tampil beda, dengan kaos dan jeans ketat datang membawa mobil mengambil barang-barangnya yang di pesantren. Ternyata “mualaf gadungan” tadi adalah salah seorang mahasiswi S2 salah satu Sekolah Tinggi Theologia di Jakarta yang sedang mencari bahan untuk keperluan thesis nya tentang pesantren.  Bagi orang Islam, kejadian ini adalah di luar akal sehat agama. Dan kejadian ini kata menurut beberapa sumber, terjadi di banyak tempat.
Atau kejadian di salah satu pesantren di Sawangan Magelang, dimana rombongan mahasiswa S2 sebuah Sekolah Tinggi Theologia dengan alasan untuk memperdalam pendidikan multikultural meminta ijin untuk menginap selama sebulan dengan para santri. Karena keluguan pak kyai, pihak pesantren pun memperbolehkan, meski akhirnya karena adanya masukan, program ini berlangsung hanya satu minggu. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana wujud dialog multikultural itu ketika anak-anak SD di sebuah daerah lereng pegunungan harus berdiskusi dengan para mahasiswa S2 yang berasal dari perkotaan yang melek IT ? Bila kemudian muncul keberatan hal itu bukan dari kekhawatiran yang tidak berdasar, sangat berbeda bila para mahasiswa itu mau nginap di kantor ISID Gontor, misalnya. Kalau mereka mau berdiskusi theologi dengan Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi atau Dr.Adnin Armas, tentu tak masalah.
Dan bagi saya, yang hobi njelajah desa milangkori, bersilaturahmi dengan banyak teman di beberapa wilayah rawan kristenisasi, saya juga makin sepakat bahwa stigma “pembangunan gereja” identik dengan “kristenisasi” bukanlah tuduhan tidak berdasar. Dan mungkin reportasenya akan saya buat berseri. Ketika ada seorang teman yang menanyakan apakah dengan menyampaikan hal semacam ini anda tidak kuatir menyinggung perasaan teman kristen saya, saya hanya menjawab “Alhamdulillah, kalau di facebook hanya dua yang meremove pertemanan sementara puluhan lainnya masih baik dan bertegur sapa. Dan hal itu tidak dianggap masalah, sama seperti ketika beberapa teman kristen keberatan dengan ulah “radikal” beberapa muslim, dan saya juga tidak akan berkeberatan menjelaskan fenomena ini kepada mereka”.
Oleh : Arif Wibowo – Aktivis Insist
Red : Aditya Abdurahman Abu Hafidz


0 komentar:

Posting Komentar