Sabtu, 26 Mei 2012

Kalau Muslim Jangan Cengeng (part III): Sepertinya Kita Memang Pemarah

Wilson, laki-laki paruh baya, berusia kurang lebih 65 tahun itu awalnya diam seribu basa, ketika kutemui di ruang tahanan Mapolres Surakarta. Maklum, dalam dua hari ini berita dan bahasa yang datang padanya adalah bahasa intimidasi. Mulai dari cacian dan makian kepadanya, maupun berita dari istrinya tentang rumahnya yang selalu dimata-matai orang.  Entah apes karena tidak sengaja, atau memang sengaja atau karena kebodohannya, saya juga kurang tahu. Yang jelas, Wilson terpaksa harus mendekam di tahanan karena dalam sebuah talksahow di salah satu radio di Solo, ia bilang bahwa Muhammad dan Khadijah, sebelum turunya wahyu ke Rasul an adalah seorang penganut Kristen.
Talkshow yang disiarkan secara “live” dan menjangkau telinga seluruh pendengar radio tersebut tak pelak memicu kemarahan umat Islam.  Mungkin Wilson tidak paham, bahwa kristianitas tidak pernah bisa menaklukkan paganisme dunia arab, ia memang berhasil mengkristenkan eropa tapi gagal total di jazirah Arab. Menurut, Prof. A’zami wilayah yang bisa dikristenkan hanya terbatas  pada Bani Harith dari Najran, Bani Hanifa dari Yamama dan beberapa Bani Tay dari Tayma (Prof. Azami, Sejarah Teks Al Qur’an dari wahyu sampai kompilasi, hal. 24). Itupun melalui kekuatan bersenjata. Mayoritas wilayah arab tetap dikuasai para penganut pagan dan para “hanifiyah” pengikut Ibrahim yang menolak ritual pagan. Kristenisasi bersenjata besar-besaran terhadap yang dilakukan Raja Abrahah untuk meruntuhkan simbol pewaris Ibrahim,yakni “Ka’bah” digagalkan oleh campur tangan Allah SWT secara langsung melalui “kerikil neraka” yang ditebarkan burung ababil. Kisah ini diabadikan dalam Al Qur’an. Kejadian ini diratapi oleh Thomas Right dalam bukunya Early Christianity ini Arabia.
“Perseteruan antara Islam (millah Ibrahim) dan Kristen  terjadi sejak tentara Kristen pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka”bah dua bulan sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak bahkan tewas. Kalau saja tentara Kristen tidak kalah, mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen, dan tanda salib terpampang di Ka’bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta”(Hamid Fahmi Zarkasyi, Pengantar dalam Jurnal Islamia, Kritik Atas Framework Studi Islam Orientalis, vol. II no. 3 hal. 5).
Kembali ke masalah Wilson tadi, setelah melalui obrolan ringan, saya yang ditemani Mr. K, akhirnya bisa mengajak Wilson berbicara dengan santai. Perjalanan spiritual Wilson memang cukup panjang, awalnya ia adalah santri dari sebuah pesantren di Kebumen. Lahir dari sebuah keluarga haji yang taat beragama. Pergaulannya akhirnya mengantarkan dia menjadi pemeluk Katolik. Minat belajarnya yang besar pada bidang theologi, mengantarkannya pada pemberontakan terhadap doktrin Katolik.  Ia pun beralih menjadi seorang protestan, gereja kristen Jawi, yang tetap saja tidak mengantarkannya kepada ketenangan. Ia berpindah lagi, pada gereja yang menurutnya lebih reformis, yakni Kristen Advent, yang memang dalam rumusan theologinya sangat menampakkan pembangkangan terhadap Vatikan. Advent menurutnya lebih “Injili” karena beribadat di hari Shabbat, dan tidak natalan di tanggal 25 Desember, yang menurut beberapa sumber memang pengaruh dari mithologi Yunani akan Dewa Matahari. Namun entah mengapa, ia tidak puas, sampai akhirnya ia menganut agama Kristen yang ia sebut Kristen pribadi, terbebas dari denominasi apapun.
Ketika saya tanya tentang bagaimana konstruk “iman” dari “Kristen Pribadi” nya itu, ia menyatakan bahwa hanya ada “Satu Tuhan” yaitu Allah, dan “Yesus” adalah “Tuan” bukan “Tuhan” sebab menurutnya dalam Bible yang asli sebutannya adalah “Lord” bukan “God”. Saya sendiri kurang faham, apakah uraiannya itu memang alkitabiah. Tidak berhenti sampai di situ, Wilson juga meyakini bahwa Al Qur’an adalah wahyu Tuhan, dan Muhammad adalah nabi. Ketika saya tanya, mengapa tidak masuk Islam, ia menjawab “saya memilih menjadi pengikut Nabi Isa”. Dia juga bercerita bahwa ia menjalankan ritual sholat, sebab para pengikut Nabi Isa juga sholat, bukan sholat lima waktu tentunya. Yang jelas, tidak ada ketegangan dalam dialog yang tanpa terasa berjalan dua jam tersebut. Sebetulnya saya ingin meneruskan dialog tersebut, tapi oleh pak Polisi diberitahu bahwa waktu kami sudah habis. Di akhir pembicaraan Wilson sempat berterima kasih, karena uneg-unegnya telah keluar, dia bilang bahwa ini semua salah paham karena kebodohannya.
Hal ini tentu sesuatu yang baru bagi saya, apalagi ketika saya mencari informasi kepada tetangganya di Mojosongo bercerita bahwa Wilson memang mempunyai kebiasaan tilawah Al Qur’an di rumahnya tiap habis maghrib. Suaranya merdu, kata tetangga yang rumahnya berdekatan dengan Wilson. Belakangan saya tahu, ketika sehabis berdiskusi dengan Dr. Tjahyadi Nugraha, bahwa Wilson adalah seorang Kristen Unitarian. Karena menurut Dr. Tjhayadi, Wilson adalah salah satu gurunya. Meski saya melihat ada alur yang berbeda, sebab kalau dalam pembicaraan dengan Wilson nampak ada “kerinduan terpendam” terhadap Islam (ini tafsiran saya pribadi), berbeda dengan Pdt. Tjahjadi yang memang seorang unitarian. Sebagai penjelas, Kristen Unitarian adalah salah satu sekte Kristen yang menolak “Ketuhanan Yesus”, sekte ini masih bertahan dan berkembang di Eropa, pada saat Dinasti Umayah berkuasa di Andalusia. Namun, ketika Andalusia jatuh ke tangan King of Aragon yang Katolik, para penganut sekte ini masuk ke dalam daftar mereka yang dihukum mati lewat mahkamah inkuisisi. Sebagian mereka kemudian menjadi converso (penganut katolik baru) supaya lepas dari hukuman, dan sebagian melarikan diri ke Amerika, dengan mempertahankan unitarianisme nya.
Kembali ke soal Wilson, sesudah pembicaraan tersebut, saya berbicara kepada beberapa “tetua” yang ditokohkan di kalangan umat Islam Solo. Sebaiknya kasus Wilson ini jangan dibawa ke ranah hukum, yang lebih utama adalah bagaimana Wilson ini harus mengklarifikasi pernyataannya kepada publik dengan pembanding Ustadz Solehan. Karena umat Islam Solo mempunyai kristolog yang jenius seperti Ustadz Solehan. Hal ini tentu akan menarik, sebab kalau Wilson menceritakan pengalaman hidupnya, saya yakin yang merasa diserang bukan umat Islam tapi justru Umat Kristen, yang memang secara “aqidah” berseberangan dengan “Kristen Pribadi” nya Wilson. Namun, belum lagi diskusi selesai, sudah ada kabar bahwa rombongan dari kelompok “A” sudah menyandera stasiuan radio tersebut, dan mengambil pemancarnya, dengan alasan akan dijadikan sebagai bahan bukti. Tentu sebagai anak baru, di Solo, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya saya menyayangkan, andai terjadi diskusi jilid II tentu akan lebih bermanfaat, sekaligus memberikan pengertian pada umat Islam bahwa uraian Wilson adalah salah. Selain itu juga biar ada introspeksi pada pihak Kristen terutama yang misionaris bahwa tidak selayaknya mereka merecoki “iman” umat Islam, sebab, internal iman mereka juga menyimpan pertentangan yang sangat serius, bukan sekedar “ikhtilaf” (perbedaan) tapi lebih pada “iftiraq” (perpecahan). Namun sekali, lagi, nampaknya “kekuatan fisik” memang terlihat lebih keren.
Oleh karena itu, ketika di TV One disiarkan bagaimana salah satu kelompok umat Islam mendemo ‘Yayasan Mahaneim” – yang melakukan Kristenisasi berkedok Mobil pintar di Bekasi – dengan jalan membawa penthungan dan membakar ban, entah kenapa saya jadi ingat kembali kasus Wilson. Efektifkah cara itu, atau justru cara itu akan menjadi kekuatan pengalih isu di media, bahwa di Bekasi  ada demo umat Islam yang anarkis. Sehingga fokus pemberitaan tidak pada “Kristenisasi” tapi justru pada demo yang anarkis. Masih belum cukupkah, kita mengambil hikmah dari kasus Temanggung. Ketika Antonius Richmond Bawengan menyebarkan propaganda anti Islam di pemukiman muslim. Intensitas demo dan massa yang tinggi, disusupi para provokator yang kemudian bergerak merusak gereja. (dari beberapa laporan, yang bergerak dan membakar memang kelompok provokator ini). Hingga berita pelecehan Islam oleh Antonius Richmond Bawengan hilang, dan berhari-hari kita disuguhi headline perusakan gereja. Menarik, kalau kita ingat pesan Buya Hamka, saat menghadapi De Islamisasi yang dilakukan negara  di awal-awal Orde Baru, yang saat itu di think-thank i oleh murid-murid Pater Beek. Menghadapi tekanan yang jauh lebih kuat itu, Buya Hamka menekankan untuk menghadapinya dengan kepala dingin dan cerdas, bukan kemarahan, penthungan apalagi bakar ban. (episode IV, pesan Buya Hamka)
Oleh : Arif Wibowo – Aktivis Insist
Red : Aditya Abdurahman Abu Hafidz


( source : 
http://www.undergroundtauhid.com/kalau-muslim-jangan-cengeng-part-iii-sepertinya-kita-memang-pemarah/ )

0 komentar:

Posting Komentar